Gambar Pembersihan Mesjid Tgk Fakinah, MAPESA, Disbudpar Aceh Besar, BP3, 29 4 2012
Kamis, 08 November 2012
Menurut catatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh,
adalah seorang pahlawan yang juga ulama puteri yang terkenal di Aceh.
Ia lahir pada tahun 1856. Orang tuanya Teungku Datuk dan Cut Mah dari
Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk), Mukim Lam Krak VII, Sagi XXII Mukim,
Aceh Besar. Sejak kecil, Teungku Fakinah diajarkan mengaji oleh kedua
orang tuanya.
Di samping itu, Teungku Fakinah juga diajarkan
keterampilan seperti menjahit, membuat kerawang sutera dan kasab. Dari
ketekunan dan kegigihannya belajar ilmu Agama Islam, maka setelah dewasa
ia digelar Teungku Faki.
Pada usia 16 tahun,
Teungku Faki menikah dengan Teungku Ahmad, yang setahun kemudian syahid
bersama Panglima Besar Rama Setia dan Imam Lam Krak, dalam
mempertahankan Pantai Cermin, Ulee Lheu, dari serangan Belanda.
Setelah
pernikahannya dengan Teungku Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah
pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang tidak lain adalah
mertuanya.
Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi menyebutkan,
pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang
dan banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh
Besar, dan bahkan dari Cumbok, Pidie.
Sejak menjadi janda diusianya yang
masih remaja, Teungku Fakinah bersama para janda dan kaum wanita lain
membentuk sebuah badan amal yang mendapat dukungan dari seluruh muslimat
di Aceh Besar dan sekitarnya.
Badan amal ini kemudian berkembang sampai
ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa
beras maupun uang yang digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan
Belanda.
Atas mufakat masyarakat, Teungku Faki kemudian menikah dengan
seorang alim ulama yakni Teungku Nyak Badai, bekas murid Tanoh Abee yang
berasal dari Kampung Langa, Pidie.
Dalam perjalanan hidupnya,
Teungku Fakinah pernah mengungsi ke Lammeulo, Cumbok, Pidie, akibat
serangan Belanda. Di tempat ini, Teungku Fakinah mendirikan sebuah
pesantren untuk wanita.
Namun, sekitar Tahun 1899 tempat itu diserbu dan
dibumihanguskan oleh Belanda. Teungku Fakinah berhasil meloloskan diri
dan ikut bergerilya bersama suaminya. Pada tahun 1910, Panglima Polem
atas nama masyarakat meminta Teungku Fakinah pulang ke kampung
halamannya di Lam Krak untuk membantu pesantren di sana.
Dalam
perkembangan selanjutnya, setelah Teungku Fakinah wafat pada tahun 1938,
masjid yang telah dibangun semasa hidupnya, masih difungsikan oleh
masyarakat sebagai tempat ibadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar